Daftar Blog Saya

Kamis, 19 Agustus 2010

Acara Adat di Boti

Gubernur NTT hadiri “malais” di Boti

Soe, Global. Gubernur Nusa Tenggara Timur Drs. Frans Leburaya dan Wakil Gubernur Esthon Foenay serta Bupati TTS Ir. Paulus V. R. Mella, M.Si Jumat (11/09) menghadiri acara adat “malais” di desa Boti kecamatan KiE Kabupaten Timor Tengah Selatan. Acara tersebut dilaksanakan dalam rangka perpisahan antara arwah Raja Nune Benu (92) yang meninggal dunia pada 20 Mei 2005 silam dengan para masyarakat desa Boti khususnya bagi mereka yang berada di Boti Dalam. Rombongan diterima secara adat oleh masyarakat suku Boti Dalam yang dipimpin langsung oleh raja baru Namah Benu (42) yang juga adalah putera dari almarhum Nune Benu.
Upacara adat ini dilaksanakan setelah kaum Boti Dalam telah mengumpulkan makanan dan ternak yang akan disembelih dalam acara tersebut. Acara ini sebagai bentuk penghormatan terakhir mereka yang masih hidup dengan arwah Nune Benu yang juga terkenal sebagai salah satu tokoh supranatural.
Dalam pertemuan tersebut, Gubernur bersama rombongan dapat melihat langsung pola kehidupan masyarakat suku terasing tersebut. Salah satu ciri khas mereka adalah masih berkonde bagi kaum laki-laki. Suku ini juga adalah merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Kabupaten TTS.
Menurut penuturan Kohe Nomleni (67), salah seorang warga Boti Dalam, pola kehidupan masyarakat suku ini terkenal karena masih menganut paham animisme. Mereka percaya bahwa ada Uis Neno (Tuhan/dewa Langit) dan Uis Pah (Tuhan/dewa Bumi/Ibu Pertiwi). Mereka melakukan upacara ibadah melelui Uis Pah yang menurut keparcayaaan mereka akan diteruskan oleh Uis Pah kepada Uis Neno. Masyarakat Desa Boti Dalam yang mesih menganut aliran ini berjumlah 70 KK dengan jumlah jiwa 350 orang. Sementara ternak yang telah disembelih adalah sapi 74 ekor, babi, 122 ekor dan kambing 23 ekor. Ternak yang masih tersisa dan akan disembelih adalah babi 72 ekor, sapi 11 ekor dan kambing 33 ekor. Ini semua adalah sumbangan dari warga Boti dan juga persiapan dari keluarga raja Namah Benu sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku ini bermata pencaharian sebagai petani. Mereka hidup rukun dengan saudara dan sesame mereka yang berada di daerah Boti Luar yang pada umumnya telah menerima pengaruh budaya luar terutama telah menerima ajaran agama Kristen Protestan. Penuturan Bota Benu, salah seorang Meo/panglima Perang bahwa acara Malais ini dilakukan karena selama masa berkabung sejak almarhun raja Nune Benu menginggal, masyarakat suku Boti Dalam tidak boleh bepergian keluar untuk urusan apapun. Setelah selesai ritual perpisahan ini barulah mereka boleh meninggalkan kampung Boti Dalam untuk urusan lainnya. Selain itu juga ia menuturkan bahwa almarhum Nune Benu memiliki 5 orang anak namum salah seorang dari mereka meninggal dunia. Ketika ditanya Global mengenai nama anak yang meniggal itu ia mengatakan bahwa tidak boleh alias pamali dan hanya boleh disebutkan oleh sang raja baru Namah Benu. Ian hanya mengatakan bahwa almarhum memiliki 4 anak yang masih hidup yakni Muke Benu (P), Laka Benu (L), Namah Benu (L) dan Molo Benu (P). ketika ditanya Global lebih lanjut mengenai mengapa yang menjadi raja adalah putera pertama Laka Benu untuk mengganti ayahnya, ia mengatakan bahwa masalah siapa yang mengganti mereka mempunyai kepercayaan bahwa Namah telah ditunjuk untuk mengganti ayahnya secara langsung. Namun ia tidak merinci bagaimana caranya. Ia hanya mengatakan kalau yang berhak untuk mengatakan secara detail adalah sang raja baru sendiri.
Masyarakat suku terasing ini juga mempunyai kebiasaan yang unik. Apabila terdapat seorang dari desa Boti yang mencuri pisang, semua masyarakat suku tersebut dibawah pimpinan raja akan mendatangi kebun si pencuri lalu beramai-ramai menanam anakan pisang dikebunnya. Mereka beranggapan bahwa in mencuri karena tidak punya jadi mereka memberikan apa yang dicurinya. Mereka tidak mengenakan denda karena hanya akan memberatkan si pencuri dan si pemilik hasil yang dicuri.
Jika masyarakat umum mengenal ada 7 hari dalam seminggu, mereka mengenal 9 hari diantaranya Neon Snasat dimana pada hari ini semua tidak boleh beraktifitas namun berkumpul untuk berdoa yang dipimpin oleh sang raja, Neon Suli dimana hari ini juga mereka tidak boleh berselisih. Apabila ada perselisihan maka langsung diselesaikan hari itu juga oleh sang raja. Dan beberapa hari yakni neon Besi, neon Liana, Neon Pah dan beberapa hari lainnya. Mereka juga memiliki tempat ibadah namun yang boleh masuk kedalam tempat tersebut untuk melakukan ritual adalah raja.
Dalam kesempatan tersebut dilaksanakan dialog dengan masyarakat setempat. Saat ditanya Bupati TTS sebagai pemandu acara dialog mengenai keluhan apa yang ingin disampaikan kepada Gubernur untuk pembangunan desa Boti, Raja Namah Benu hanya menjawab bahwa semua telah diketahui. Saat itu Gubernur mengatakan bahwa akses jalan masuk menuju salah satu ikon wisata ini akan diperhatikan oleh pemerintah.
Hadir pada kesempatan tersebut Kepala Kantor Pariwisata NTT, Ans Takalapeta, Kapolres TTS, Kejari TTS, beberapa Anggota DPRD Provinsi NTT, Kepala SKPD kabupaten TTS, wartawan media massa nasional dan local, wisatawan mancanegara serta masyarakat desa Boti dan sekitarnya serta undangan lainnya (glo-82).


“Valyans” Mollo Selatan Juara Mutis Cup VI.
Kapan-Global. Valyans Kecamatan Mollo Se4latan keluar sebagai juara I Turnamen Bola Volley Mutis Cup VI yang berlangsung Jumat (11/09) di lapangan kantor Camat Mollo Utara. Kegiatan yang berlangsung selama seminggu tersebut ditutup secara resmi oleh Wakil Bupati TTS, Drs. Benny A. Litelnoni, SH, M.Si selaku Ketua Pelaksana Harian KONI TTS. Hadir pada kesempatan itu Anggota DPRD TTS, Ibu Fransisca Litelnoni-Sianto, Camat Mollo Utara, Pengurus KONI TTS serta masyarakat kota Kapan dan sekitarnya. Dalam kesempatani itu Wakil Bupati mengatakan bahwa TTS kaya akan bibit atlit sehingga perlu adanya turnamen untuk menyeleksi atlit agar dibina, kegiatan Mutis Cup ini juga telah menjadi agenda tetap PBVSI TTS. Selain itu Wakil Bupati juga mengatakan bahwa ajang ini juga menjadi tempat dijaringnya atlit yang akan diikutsertakan dalam Porda bulan Oktober mendatang di Belu. Wabup Litelnoni juga mengharapkan bahwa dengan kegiatan seperti ini dapat mempererat tali persaudaraan antar sesame pemuda dikabupaten TTS. Masalah hadiah bukanlah tujuan utama tetapi yang utama adalah prestasi.
Sementara itu ketua pantita Samuel Tanesia dalam laporannya mengatakan bahwa kegiatan ini terselenggara berkat bantuan pemerintah kabupaten, sumbangan donator serta usaha panitia. Ia juga mengatakan bahwa kalau kali ini hanya diberlakukan local tournament maka untuk tahun depan akan diadakan open dan local turnament sekaligus. Acara ini juga merupakan hiburan bagi masyarakat luas.
Pertandingan perebutan tampat ketiga, tim Hanura takluk dengan skor 2-3, sementara partai final yang mempertemukan Valyans Mollo Selatan dan Buldozer Kota SoE berlangsung menarik. Valyans yang dimotori oleh Adi dan Meden Opat serta Depson berhasil mengalahkan Buldozer yang diperkuat pemain senior Ili, Zenon danEdi. Akhirnya Buldozer harus mengakui keunggulan Valyans Mollo Selatan dengan tiga set langsung atau 3-0 (glo-82).

RSUD TTS berhutang 1 milyar lebih.
Pemkab TTS Bantu dana 50%

SoE Global. Rumah Sakit Umum Daerah TTS mempunyai hutang sebanyak 1,2 milyar lebih kepada pihak penyedia obat-obatan. Hal ini terungkap dalam pertemuan antara Anggota DPRD TTS dan Direktur Rumah Sakit Umum SoE, dr. Musa Salurante di ruang kerjanya Selasa, (08/09). Saat pertemuan dalam rangka kunjunga kerja anggota DPRD TTS untuk meninjau bobolnya WC yang berada dilantai 2 pada salah satu bangunan rumah sakit tersebut yang terjadi beber.
Dalam pertemuan itu Salurante mengatakan bahwa adalah benar jika selama ini ada keluhan dari pasien mengenai kekurangan obat pada Rumah Sakit. Hal ini disebabkan oleh pihak penyedia obat-obatan tidak lagi mau menyalurkan obat karena masih ada utang dari beberapa tahun anggaran lalu. Untuk itu ia berharap masalah ini secepatnya diselesaikan agar proses pelayanan terhadap pasien bisa kembali normal. Hal senada juga diungkapkan salah seorang petugas medis yang enggan namanya ditulis mengatakan bahwa benar ada tunggakan pembayaran pada tahun 2008 dari pihak Rumah Sakit Umum kepada pihak ketiga pada tahun lalu. Ia juga merasa heran kemana penggunaan alokasi dana untuk pembayaran obat-obatan sehingga menimbulkan hutang yang sedemikian banyak.
Menyikapi hal tersebut, Jumat pagi (18/09) bertempat diruang kerja Bupati TTS berlangsung pertemuan untuk membicarakan hal tersebut. Kegiatan ini dilaksanakan sebelum kunjungan kerja Bupati TTS menuju Desa Mauleum Kecamatan Amanuban Timur. Pantauan Global, hadir pada kesempatan itu Wakil Bupati TTS, Drs. Benny A. Litelnoni, SH, M.Si, Plt. Sekda TTS, Ir. Yaan Tanaem, Direktur Rumah Sakit Umum SoE, dr. Musa Salurante dan pihak pengusaha jasa farmasi.
.Plt. Sekda TTS Ir. Yaan Tanaem yang dikonfirmasi Global pasca pertemuan ketika mendampingi Bupati TTS dalam kunjungan kerja ke desa Mauleum Kecamatan Amanuban Timur mengatakan bahwa hasil dari pertemuan tersebut adalah pihak pemerintah kabupaten menyediakan dana 50% untuk menanggulangi utang tersebut sedangkan sisanya baru akan ditanggulangi pada tahun depan. Tanaem juga mengatakan bahwa pencairan dana ini akan berlangsung dalam waktu dekat sehingga dapat menjamin ketersediaan obat di Rumah Sakit. Ia berharap agar proses pelayanan di Rumah Sakit akan kembali normal dengan adanya pertemuan serta kesepakatan tersbut. Hingga saat berita ini diturunkan, Direktur Rumah Sakit Umum SoE dr. Musa Salurante serta pengusaha jasa farmasi yang menyediakan keperluan obat-obatan belum berhasil dikonfirmasi. Sampai saat ini juga belum ada kejelasan mengenai tindak lanjut dari pihak pemerintah terutama hasil audit Banwas TTS mengenai kasus tersebut. (glo-82)

Opini Pendidikan

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN BERMUTU BERDASARKAN SISTEM BROAD BASED EDUCATION DAN HIGH BASED EDUCATION MENGHADAPI TANTANGAN ABAD KE-21 DI INDONESIA**
Oleh : Lusianus Tusalakh*)
1. Pendahuluan
Mengapa paradigma baru pendidikan Indonesia perlu berorientasi pada sistem broad based education dan high based education? Terdapat 4 alasan mengapa sistem broad based education diperlukan yaitu: (1) alasan ekonomis. Karena ketidakmampuan orang tua atau faktor kemiskinan, maka tidak semua tamatan SD, SLTP dan SMU dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Umumnya mereka tidak memiliki keterampilan untuk bekerja mandiri dan kalaupun bekerja mereka mengerjakan pekerjaan kasar dengan upah yang rendah atau menjadi tenaga kerja keluarga di pedesaan, bahkan banyak yang menganggur; (2) alasan kemampuan intelektual. Secara nasional cukup banyak (sekitar 40 persen) anak yang dengan susah payah menyelesaikan SD dan tidak mempunyai kemampuan intelektual untuk mengikuti pelajaran di SLTP; (3) alasan tidak berminat; (4) banyak orang tua menyatakan, apa gunanya masuk SLTP karena bagi mereka yang tidak melanjutkan ke SMU dan SMK masuk SLTP sama sekali tidak berguna, karena tidak mempersiapkan para pelajar untuk bekerja, hanya untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi (Drost, 2000:12). Hal yang sama juga dialami oleh lulusan SLTP dan SMU. Untuk mengakomodasi kebutuhan pendidikan bagi lulusan SD, SLTP dan SMU yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sistem broad based education dalam bentuk pendidikan keterampilan sudah merupakan suatu kebutuhan, agar mereka memiliki life skill yang relevan dengan peluang kesempatan kerja yang tersedia.
Adapun latar belakang yang menjadi alasan sistem high based education sangat diperlukan adalah: (1) hasil UMPTN yang secara nasional rata-rata diikuti kurang lebih 600.000 siswa setiap tahun, ternyata hanya 10 persen yang lulus murni dan memiliki kematangan intelektual dan emosional untuk melanjutkan pendidikan di universitas. Walupun diakui bahwa di luar 10 persen tersebut banyak yang diluluskan untuk mengisi kursi yang tersedia, terutama di universitas-universitas luar Jawa dan universitas swasta; (2) untuk memenuhi kebutuhan SDM yang berkualitas, profesional baik untuk kebutuhan domestik maupun global; (3) merupakan human investment untuk mencetak SDM berkualitas, profesional yang mampu berkompetisi dalam konteks kerjasama dalam era globalisasi.
Tulisan ini ditujukan untuk mencoba mengungkap permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia pada saat ini, terutama yang berhubungan dengan rendahnya mutu SDM sebagai akibat dari mutu pendidikan yang rendah. Dalam persaingan pada era globalisasi, kemenangan ditentukan oleh mutu SDM. Mutu SDM itu sendiri ditentukan oleh pendidikan bermutu baik pada tingkat dasar, menengah maupun tinggi. Pendidikan memegang peranan kunci dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini sesuai dengan cita-cita dan sumpah dari founding fathers kita untuk membangun suatu masyarakat Indonesia yang kuat, demokratis, mandiri, menghayati nilai-nilai untuk bersatu dalam kebhinekaan, menguasai ilmu dan teknologi, dan mampu bersaing dalam era kehidupan domestik dan global.
Kenyataan menunjukan, meskipun kegiatan pendidikan telah berlangsung di Indonesia selama 64 tahun, namun belum berhasil menyediakan SDM berkualitas. Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, sektor pembangunan pendidikan tidak pernah ditempatkan menjadi prioritas pembangunan. Akibatnya mutu pendidikan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Pilipina, Singapura, Thailand.
Apabila keempat negara ini telah berhasil mengirim tenaga-tenaga kerja terampil dan profesional untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia di mancanegara, maka Indonesia baru dalam tingkat mengirim tenaga kerja untuk pekerjaan kasar seperti buruh pabrik, perkebunan , pembantu rumah tangga, dan lain-lain. Bangsa Indonesia dilanda krisis multi dimensi sejak empat tahun yang lalu dan hingga sekarang masih terpuruk akibat masa lalu yang mengabaikan pembangunan pendidikan. Sedangkan bangsa lain yang terkena krisis seperti Indonesia sudah bangkit kembali karena di masa lalu mereka menaruh perhatian besar terhadap sektor pembangunan pendidikan. Mereka bisa cepat
bangkit karena memiliki kualitas SDM yang baik. Melalui sistim broad based education dan high based education, diharapkan mutu SDM Indonesia akan semakin baik.
2. Beberapa Kajian Literatur
2.1 Beberapa tantangan dunia pendidikan di Indonesia saat ini
Adapun tantangan yang menghadang dunia pendidikan Indonesia saat ini meliputi: heterogenitas tingkat pendidikan masyarakat, keterpurukan perekonomian masyarakat, dan kekurang-merata-an tingkat pendidikan pendidikan.
2.1.1. Heterogenitas tingkat pendidikan masyarakat
Heterogenitas tingkat pendidikan masyarakat Indonesia dapat dilihat pada masyarakat di seluruh kepulauan Indonesia. Masih banyak penduduk yang buta aksara terutama di pedesaan, di samping mayoritas sudah dapat membaca dan menulis bahkan banyak yang sarjana. Pada jenjang sekolah dasar, terutama di pedesaan banyak anak-anak usia sekolah yang tidak pernah mengikuti sekolah dasar, putus sekolah, di samping banyak yang tamat sekolah dasar. Hal yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan SLTP dan SLTA. Penyebab utamanya adalah masalah kemiskinan dan ketidakmampuan orang tua menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan di atas: (1) kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal dan berbagai pelatihan keterampilan teknis bagi anak-anak (pemuda) sangat terbatas; (2) jumlah pemuda putus sekolah meningkat, bahkan banyak yang tidak pernah sekolah, (3) jumlah pemuda melek huruf fungsional sangat rendah, dan (4) mutu SDM generasi muda sangat buruk.
Sehubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan pemuda di pedesaan, United Nations (dalam Swanson, 1984: 17), mengemukakan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut: (1) pada usia muda mereka sudah menjadi tenaga kerja keluarga atau bekerja pada orang lain; (2) waktu musim tanam atau panen, mereka bekerja melebihi jam kerja normal; (3) umumnya mereka menganggur pada pasca panen; (4) untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga mereka wajib kerja mencari upah; (5) mereka berkeluarga/kawin pada usia muda; (6) mereka tidak ingin berbaur dengan teman sebaya yang melek huruf, meskipun usia mereka sama; (7) merasa takut terhadap situasi belajar mengajar yang sifatnya formal; (8) mereka meninggalkan desa untuk menghindari lapangan kerja pertanian dan (9) mereka dihadapkan dengan lahan pertanian sempit yang mereka anggap akan membuat mereka tetap miskin.
2.1.2. Keterpurukan perekonomian masyarakat
Krisis ekonomi yang berawal dari krisis moneter tahun 1997, memiliki pengaruh signifikan terhadap dunia pendidikan Indonesia. Jumlah masyarakat miskin dan yang hidup dibawah garis kemiskinan meningkat. Pengangguran terbuka sudah mencapai 40 juta orang. Ditambah lagi pengangguran terselubung. Akibat langsung terhadap pendidikan adalah jumlah anak putus sekolah pada semua jenjang pendidikan meningkat. Indikator sosialnya adalah meningkatnya anak jalanan dan keluarga jalanan di kota-kota besar. Pada Pendidikan tinggi, banyak mahasiswa yang diharapkan menjadi calon intelektual muda, terpaksa cuti kuliah karena keterbatasan ekonomi keluarga. Bagi siswa SLTP dan SLTA yang putus sekolah, masalahnya akan lebih rumit. Rumit karena pada usia ini, emosi mereka belum stabil, tidak toleran terhadap orang lain, agresif secara fisik, rendah kesadaran akan kesalahan diri, dan menunjukkan perilaku yang egoistik (Kartadinata dan Dantes, 1997: 65).
Apabila keluarga dan pemerintah tidak tanggap terhadap permasalahan ini, maka cepat atau lambat pengaruh lingkungan yang tidak kondusif akan membuat mereka terlibat pada kenakalan remaja, tawuran, penyalahgunaan narkoba, atau perilaku-perilaku kejahatan yang lebih ekstrim. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembangunan pendidikan berhubungan erat dengan pembangunan ekonomi, terutama pembangunan ekonomi yang berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik. Mengenai kesalahan pembangunan ekonomi dan pengaruh negatifnya pada pendidikan,Tilaar ( 2000: 4-5), menyatakan bahwa:

Pembangunan ekonomi yang dijadikan panglima dengan hanya memprioritaskan target pertumbuhan telah melahirkan pembangunan ekonomi yang tanpa perasaan. Akibatnya terjadi kesenjangan antardaerah, antarsektor, dan antarmasyarakat. Struktur ekonomi yang tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik telah menyebabkan ekonomi yang rapuh dan ketergantungan industri pada bahan baku impor. Selanjutnya, kehidupan ekonomi semakin lama semakin tergantung pada utang luar negeri yang besar. Akibat kehidupan ekonomi yang demikian ialah lahirnya sistem pendidikan yang tidak peka untuk meningkatkan daya saing, yang tidak produktif karena tergantung pada bahan baku impor. Selanjutnya, pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya. Sejalan dengan itu lahirlah ekonomi biaya tinggi karena korupsi yang melahirkan penanganan ekonomi yang tidak profesional tetapi mengikuti jalan pintas. Dengan sendirinya output pendidikan tidak mempunyai daya saing apalagi mempunyai daya saing global.
2.1.3. Masalah Pemerataan Pendidikan
Konsep "pendidikan untuk semua" mempunyai makna bahwa semua warga negara mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang baik, juga mempunyai kewajiban untuk membangun pendidikan nasional yang bermutu. Konsekwensinya diperlukan pemerataan pendidikan. Apa saja kendala yang dapat kita pelajari dari pemerataan pendidikan ini? Paling sedikit terdapat lima kendala internal yang menghambat pemerataan pendidikan yaitu : (1) kendala geografis, artinya banyak pulau-pulau atau daerah-daerah yang sulit dijangkau pendidikan karena faktor komunikasi; (2) sarana pendidikan yang terbatas akibat alokasi dana yang sangat minim; (3) pemerintah masih mengutamakan pembangunan ekonomi sebagai prioritas, sementara pendidikan belum memperoleh porsi yang wajar; (4) tidak ada penghargaan yang wajar terhadap profesi guru, terutama yang menyangkut kesejahteraan, padahal kunci utama pendidikan bermutu ialah mutu guru itu sendiri; dan (5) perencanaan pendidikan yang sentralistik yang mengabaikan kemampuan dan karakteristik daerah.
2.2. Globalisasi dan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia Abad ke-21
2.2.1. Globalisasi
Tampubolon, (2001: 7-11) mengemukakan bahwa dengan perkembangan masyarakat industri dan pancaindustri, Indonesia berada dibawah pengaruh empat proses perkembangan sosial yang mendasar dalam abad ke-21, bahkan sesungguhnya sudah mulai dalam tiga dekade terakhir abad ke-20. Keempatnya dikatakan mendasar karena dampaknya dapat mengubah seluruh tata kehidupan. Keempat proses itu adalah: Globalisasi, Industrialisasi, Asianisasi dan Sistem informasi canggih
Globalisasi dapat diartikan sebagai proses saling berhubungan yang mendunia antar individu, bangsa dan negara, serta berbagai organisasi kemasyarakatan, terutama perusahaan. Proses ini dibantu berbagai alat komunikasi dan transportasi yang berteknologi canggih, dibarengi kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi serta nilai-nilai sosial-budaya yang saling mempengaruhi.
Perubahan mendasar akibat globalisasi ialah keterbukaan yang mengimplikasikan demokrasi dan kebebasan. Persaingan dalam bidang ekonomi akan semakin keras, tetapi selalu dalam konteks kerjasama. Demikian juga, industrialisasi yang menuntut rasionalitas, efektivitas dan efisiensi dalam semua segi kehidupan, termasuk penggunaan waktu. Semuanya harus diperhitungkan secara rasional, walaupun diakui bahwa rasionalitas dapat berbenturan dengan nilai-nilai tradisi yang emosional, termasuk nilai-nilai keagamaan. Dominasi rasio berkembang pesat melalui pendidikan. Dominasi rasio ini menyebabkan melemahnya kehidupan beragama, sebagaimana dapat dilihat dari berkembangnya sekularisme di dunia Barat yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara.
Hal ini akan menimbulkan terjadinya dekadensi dalam kebudayaan Barat yang antara lain ditandai oleh semakin jauhnya individu dan masyarakat dari agama (Baumer: 1977 : 509). Naisbitt (1990:88) meramalkan bahwa asianisasi akan terjadi, dan sesungguhnya sudah mulai terlihat dalam dekade terakhir abad-20. Proses ini pada dasarnya adalah bagian dari globalisasi, dimana pengaruh Asia, terutama Asia Timur, Selatan, dan Tenggara, semakin kuat dan mendunia. Asia akan menjadi pusat perkembangan ekonomi, terutama karena kekayaan SDA dan jumlah SDM-nya serta kebudayaannya
yang beraneka ragam dan bernilai tinggi. Perubahan mendasar yang dibawa oleh asianisasi ialah rasa percaya diri Asia yang semakin kuat. Bangsa-bangsa Asia tidak banyak lagi bergantung pada bangsa-bangsa Barat seperti dimasa lalu. Diantara bangsa-bangsa Asia, Cina akan memainkan peranan yang lebih besar. Keseratderasan informasi akan berpengaruh besar pada cara berfikir, berasa, serta berkomunikasi dengan bahasa. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional sama-sama berkembang. Kecepatan, simplikasi, efisiensi, dan efektivitas merupakan ciri-ciri utama bahasa yang komunikatif. Penguasaan bahasa, terutama Inggris, Mandarin, Perancis dan Jepang sangat perlu. Akhirnya keseratderasan informasi juga menyebabkan perubahan-perubahan cepat dalam berbagai bidang kehidupan, terutama ilmu dan teknologi.
Djiwandono dalam makalahnya mengenai "Globalisasi dan Pendidikan Nilai" ( dalam Sindhunata, 2001:105) mengemukakan bahwa Negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia kini bukan saja saling terbuka satu sama lain, tapi juga saling tergantung satu sama lain, kalaupun ketergantungan itu akan senantiasa bersifat asimetris, artinya satu negara lebih tergantung pada negara lain daripada sebaliknya. Karena saling ketergantungan dan keterbukaan ini tidak simetris, pengaruh globalisasi atas berbagai negara juga berbeda kadarnya. Negara-negara berkembang akan cenderung lebih terbuka pada pengaruh globalisasi dari pada negara-negara industri maju, karena ketergantungan kelompok negara-negara pertama pada kelompok negara kedua yang memiliki kemampuan ekonomi, sumber daya manusia, dan teknologi. Demikian juga negara-negara maju akan bertindak sebagai pelaku atau subjek, sedangkan kelompok negara berkembang lebih sebagai sasaran atau objek globalisasi.
Dalam konteks pengertian globalisasi di atas, dapat diprediksi dampaknya terhadap kelompok negara-negara berkembang sebagai berikut: (1) kelompok negara-negara maju akan lebih dominan pengaruhnya terhadap kelompok negara-negara berkembang terutama pada bidang politik dan ekonomi; (2) kelompok negara-negara berkembang tetap pada posisi yang lemah dalam berkompetisi, walaupun secara teori kompetisi itu dilakukan dalam konteks kerjasama; (3) terjadi perubahan dalam cara kehidupan masyarakat terutama generasi muda yang tinggal di kota-kota; (4) semakin mudahnya komunikasi internasional, masyarakat dapat mengetahui inovasi global tentang perkembangan ilmu dan teknologi, sebaliknya dapat membawa pengaruh negatif pada kehidupan generasi muda. Contohnya adalah masalah NARKOBA yang sudah melanda generasi muda Indonesia termasuk siswa SLTP/SLTA dan mahasiswa perguruan tinggi.
2.2.2. Paradigma Baru Pendidikan Indonesia Abad ke-21
Abad ke-21 adalah era globalisasi dengan ciri-ciri adanya saling keterbukaan dan ketergantungan antarnegara. Akibat saling keterbukaan dan ketergantungan ditambah dengan arus informasi yang sangat cepat maka kompetisi antarnegara pun akan semakin ketat terutama pada bidang ekonomi. Bagi Indonesia globalisasi ini tidak hanya memiliki dimensi domestik akan tetapi juga dimensi global. Dari segi dimensi domestik globalisasi ini memberi peluang positip terutama untuk mengadopsi dan menerapkan inovasi yang datang dari luar untuk meningkatkan peluang kesempatan kerja bagi masyarakat. Di samping itu dari segi keuntungan domestik, pengaruh globalisasi ini dapat mendidik masyarakat untuk memiliki pola pikir kosmopolitan dan pola tindak kompetitif, suka bekerja keras, mau belajar untuk meningkatkan keterampilan dan prestasi kerja. Dari segi global, kita hidup di dalam dunia yang terbuka, dunia yang tanpa batas. Perdagangan bebas serta makin meningkatnya kerjasama regional memerlukan manusia-manusia yang berkualitas tinggi. Kehidupan global merupakan tantangan sekaligus membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan bagi SDM Indonesia yang berkualitas tinggi untuk memperoleh kesempatan kerja di luar negeri. Di sinilah tantangan sekaligus peluang bagi peningkatan mutu pendidikan Indonesia baik untuk memenuhi SDM yang berkualitas bagi kebutuhan domestik maupun global.
Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang kehidupan global di atas, diperlukan paradigma baru pendidikan. Tilar (2000:19-23) mengemukakan pokok-pokok paradigma baru pendidikan sebagai berikut: (1) pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis; (2) masyarakat demokratis memerlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis; (3) pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global; (4) pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis; (5) di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu mengembangkan kemampuan berkompetisi di dalam rangka
kerjasama; (6) pendidikan harus mampu mengembangkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan masyarakat, dan (7) yang paling penting, pendidikan harus mampu meng-Indonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi warga negara Indonesia.
Konflik-konflik sosial, tindakan-tindakan diskriminasi, perilaku yang exklusif dan primordial muncul karena belum semua masyarakat merasa, menghayati dan bangga sebagai insan Indonesia. Dan di sinilah para pemimpin formal dan informal pada semua aspek kehidupan harus menjadi teladan.
Untuk mencapai tujuan ini diperlukan aktualisasi pendidikan nasional yang baru dengan prinsip-prinsip : (1) partisipasi masyarakat di dalam mengelola pendidikan (community based education); (2) demokratisasi proses pendidikan; (3) sumber daya pendidikan yang profesional; dan (4) sumber daya penunjang yang memadai.
Paradigma baru pendidikan di atas mengisyaratkan bahwa tanggung jawab pendidikan tidak lagi dipikulkan kepada sekolah, akan tetapi dikembalikan kepada masyarakat dalam arti sekolah dan masyarakat sama-sama memikul tanggung jawab. Dalam paradigma baru ini, masyarakat yang selama ini pasif terhadap pendidikan, tiba-tiba ditantang menjadi penanggung jawab pendidikan. Tanggung jawab ini tidak hanya sekedar memberikan sumbangan untuk pembangunan gedung sekolah dan membayar uang sekolah, akan tetapi yang lebih penting masyarakat ditantang untuk turut serta menentukan jenis pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, termasuk meningkatkan mutu pendidikan dan memikirkan kesejahteraan tenaga pendidik agar dapat memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didik. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah karena banyak kendala yang mempengaruhi, antara lain: (1) bagi masyarakat hal ini merupakan masalah baru sehingga perlu proses sosialisasi; (2) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota propinsi, kotamadya dan kabupaten, masalahnya lebih sederhana karena tingkat pendidikan dan ekonomi relatif baik, sehingga tidak sulit menyeleksi orang-orang yang akan duduk pada posisi tanggung jawab ini; (3) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota kecamatan dan desa masalahnya menjadi rumit karena tingkat pendidikan masyarakatnya rendah dengan kondisi kehidupan miskin.
Namun demikian, untuk peningkatan mutu dalam rangka demokratisasi pendidikan maka "Manajemen Berbasis Sekolah" merupakan alternatif terbaik karena menyangkut paradigma tanggung jawab dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam tanggung jawab pendidikan.
3. Meningkatkan Mutu Sumber Daya Manusia melalui Aktualisasi Sistem Broad Based Education dan High Based Education.
Ketetapan MPR (1999:80-81) berkenaan dengan pendidikan mengamanatkan sebagai berikut:
1.Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2.Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3.Melakukan pembaruan sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku secara nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional.
Inti ketiga butir ketetapan diatas menyimpulkan bahwa: 1) baik mutu maupun pemerataan pendidikan sama-sama mendapat perhatian; 2) pemberdayaan lembaga-lembaga pendidikan, khususnya para guru dan kesejahteraan guru, dilaksanakan dengan meningkatkan anggaran pendidikan yang berarti; dan 3) program-program pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan nasional dan lokal.
Lalu apa yang akan kita laksanakan sekarang? Jawabannya adalah membangun pendidikan berdasarkan sistem "broad based education" dan "high broad education."

3.1. Pendidikan yang Berorientasi pada Sistem Broad Based Education
Pendidikan berdasarkan sistem broad based education ialah konsep pendidikan yang mengacu pada life skill. Tujuan utamanya adalah untuk mengakomodasi kebutuhan pendidikan masyarakat yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Beberapa alasan mendasar yang perlu mendapat perhatian antara lain: a) tidak semua lulusan SD, SLTP, dan SMU memiliki potensi intelektual untuk belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi; b) SLTP, SMU, atau SMK yang ada masih bersifat umum, dan lulusannya dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, akibatnya lulusan SD yang tidak memiliki potensi intelektual untuk belajar di SLTP umum menjadi putus sekolah karena tidak tersedia SLTP keterampilan; c) ketidak-mampuan orang tua karena masalah kemiskinan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi lulusan SD, SLTP, dan SMU tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Fakta mengungkapkan bahwa secara nasional setiap tahun terdapat sekitar 600.000 lulusan SD, dan jumlah yang sama juga terjadi pada SLTP dan SMU. Mayoritas atau sekitar 60% berasal dari keluarga miskin atau berpenghasilan rendah; d) untuk masuk pendidikan tinggi negeri harus lulus UMPTN, sedangkan yang lulus hanya 10% sesuai dengan daya tampung yang tersedia; c) biaya pada pendidikan tinggi swasta relatif lebih besar, hanya dapat dijangkau oleh masyarakat golongan menengah keatas, sedangkan masyarakat miskin yang jumlahnya mayoritas tidak mungkin menjangkaunya; d) banyak orang tua yang sudah memiliki persepsi bahwa untuk menjadi orang yang berhasil tidak harus memiliki gelar dari pendidikan tinggi; dan e) bahkan sarjana lulusan perguruan tinggi banyak yang menganggur.
Kenyataan-kenyataan diatas secara langsung menambah jumlah generasi muda yang menganggur. Mereka tidak memiliki keterampilan untuk bekerja mandiri terutama pada sektor informal. Pilihan terakhir adalah bekerja musiman sebagai buruh kasar dengan upah yang rendah, disamping ada yang bekerja sebagai tenaga kerja keluarga terutama dalam bidang pertanian. Akibatnya mayoritas menganggur dan tinggal di kota-kota. Hidup menganggur membuat mereka frustrasi dan banyak terlibat dengan masalah kenakalan remaja, kriminalitas, tawuran, bahkan terlibat pada masalah narkoba. Biasanya apabila generasi muda terlibat pada masalah kenakalan remaja, tawuran dan penyalahgunaan NARKOBA, yang disalahkan adalah sekolah tidak bermutu, sistem pendidikan, guru, lingkungan, dan lain-lain. Secara empiris beberapa fakta menunjukkan bahwa perasaan kecewa, frustrasi dan pengaruh lingkungan yang kurang kondusif, menjadi faktor pendorong bagi mereka terlibat pada masalah-masalah diatas. Mengapa kecewa dan frustrasi? Karena mereka memaksakan diri atau setidak-tidaknya dipaksa orang tua untuk sekolah di SLTP atau SMU yang kurikulumnya hanya dapat diikuti oleh anak-anak pandai, sedangkan mereka tidak mampu mengikutinya. Akibatnya, mereka melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai dan norma-norma. Untuk bekerja tidak punya keterampilan, sehingga mereka lari dari kenyataan dan melakukan tindakan-tindakan destruktif.
Untuk memecahkan masalah ini, perlu pendidikan keterampilan yang sesuai dengan peluang kesempatan kerja yang dibutuhkan masyarakat dengan mempertimbangkan bakat dan minat , serta kemungkinan mereka dapat bekerja mandiri atau bekerja pada orang lain. Pendekatan ini sifatnya manusiawi, artinya bahwa terdapat pengakuan bahwa mereka memiliki potensi untuk dapat berkembang. Karena itu, gagasan untuk mendirikan SLTP keterampilan sudah merupakan kebutuhan yang dirasakan bagi anak-anak SD yang tidak mampu melanjutkan pendidikan di SLTP umum. Dan bagi lulusan SLTP perlu diarahkan melanjutkan pendidikan di SMK, sehingga SMU betul-betul diperuntukkan bagi anak-anak yang memiliki potensi akademis untuk melanjutkan pendidikan di universitas.
Masalah kesempatan kerja bagi angkatan kerja usia muda ini tidak saja disebabkan karena keterbatasan lowongan kerja yang tersedia, tetapi terutama karena umumnya mereka tidak siap pakai karena tidak memiliki kualifikasi keterampilan yang diharapkan. Keadaan ini dapat terjadi, karena sebagian besar dari mereka berasal dari sekolah umum dan bukan kejuruan. Bahkan tamatan dari sekolah kejuruanpun juga bukan jaminan untuk siap bekerja. Apabila pembangunan diartikan sebagai suatu perubahan berencana untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat, maka pembangunan itu harus difokuskan pada penyediaan lapangan kerja dan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu diperlukan suatu program pendidikan yang kami sebut dengan istilah "Program Pendidikan Untuk Mencari Nafkah" atau disingkat dengan "PUMN."

Pada hakekatnya PUMN dapat disama artikan dengan occupational education (Vasquez 1984:72), yaitu suatu program pendidikan yang mengacu kepada pekerjaan. Artinya, dalam program pendidikan semacam ini, warga terdidik diarahkan untuk siap bekerja, segera setelah menyelesaikan pendidikannya. Dengan kata lain, PUMN merupakan program pendidikan yang menghasilkan warga terdidik yang siap bekerja guna memperoleh penghasilan bagi kebutuhan nafkahnya. PUMN harus lebih menekankan pada aspek keahlian dan keterampilan teknis atau technical know how. Karena itu, PUMN harus berorientasi untuk menciptakan lapangan kerja employment generating dan untuk meningkatkan penghasilan income generating sebagaimana ditegaskan oleh Fuad Hasan (1985:1).
Lebih lanjut, UNESCO (1980:263), merumuskan latihan kerja sebagai: "Technical and vocational education may broadly defined as education to provide skills to enable students to enter a productive vocation and earn their livelihood. More specifically, it is to prepare a students for life, to earn a livelihood and to take up responsibilities of citizenship."
Dengan kata lain, PUMN merupakan program pendidikan yang menghasilkan warga terdidik yang siap bekerja guna memperoleh penghasilan bagi kebutuhan nafkahnya. Pada dasarnya PUMN, merupakan suatu sistem pendidikan nonformal yang bersifat pre-service training. Artinya, PUMN diselenggarakan di luar sistem pendidikan formal dimana warga belajarnya terdiri dari para pencari kerja. Bentuk PUMN yang dapat dijumpai adalah latihan kejuruan atau vocational training dan occupational training, serta kerja magang atau apprenticeship (Haryadi 1991:57). Warga terdidik yang dihasilkan PUMN diharapkan telah memiliki perilaku dengan kemampuan kognitif dan afektif yang setidak-tidaknya, pada tingkatan (taxon) dapat menggunakan pengetahuannya (application) dan bersedia (responding) mengerjakan pekerjaan yang telah dipelajarinya (Blomm dalam Groundlund, 1970:20-22), serta memiliki kemampuan psikomotorik yang, setidak-tidaknya, mencapai tingkatan dapat mengerjakan dengan benar (mechanism) semua pekerjaan yang telah dipelajarinya ( Simson dalam Kibler et al, 1981:32).
Warga terdidik yang dihasilkan oleh PUMN, setelah bekerja diharapkan dapat memperoleh penghasilanuntuk memnuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian penghasilan disini bukanlah sekedar penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, melainkan penghasilan yang dapat diandalkan kesinambungannya dan dalam jumlah yang relatif cukup tinggi sehingga memungkinkan untuk selalu dapat memperbaiki mutu hidupnya (Havighurst 1979:122). Lebih lanjut, Comb and Ahmed (1984:108) menegaskan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan seperti yang dikehendaki, setiap penyelenggaraan PUMN harus disesuaikan dengan kebutuhan nyata, baik kebutuhan pokok yang dirasakan oleh setiap warga masyarakat setempat, maupun kebutuhan negara atau kebutuhan pembangunan dalam arti luas. Program PUMN sifatnya harus praktis, applicable dan sederhana. Namun yang lebih penting adalah materi ajar program PUMN itu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat baik felt needs, real needs dan expected-needs, terutama di dalam peningkatan income dan pembukaan peluang kerja baru.
PUMN sebagai suatu sistem pada hakekatnya merupakan suatu kesatuan dari bermacam-macam komponen (sub-sistem) yang saling berkaitan, terdiri dari warga terdidik atau raw-input, input alat atau instrument-input, input lingkungan atau environment-input dan warga terdidik yang merupakan output dari program tersebut (Jusuf, 1982:37-38). Warga terdidik adalah hasil program pendidikan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai. Tentang hal ini, Jiyono( 1980:12) membedakannya dalam dua tahapan yaitu: hasil langsung (immediate-outcome) dan hasil akhir (ultimate-outcome). Hasil langsung program PUMN adalah perubahan perilaku warga terdidik yang diharapkan, sedang hasil akhir adalah relevansi atau keikutsertaan warga terdidik untuk membantu mengembangkan masyarakatnya dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja guna perbaikan kesejahteraan masyarakat.
UNESCO (dalam Sindhunata, 2001: 116) mengemukakan keberhasilan pendidikan diukur dari hasil empat pilar pengalaman belajar itu, yakni (1) belajar mengetahui (learning to know); (2) belajar berbuat (learning to do); 3) belajar hidup bersama (learning to live together) dan (4) belajar menjadi seseorang (learning to be). Idealnya dengan keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh warga terdidik melalui PUMN itu, diharapkan peserta didik mampu membuka lapangan kerja untuk diri sendiri dan untuk orang lain-lain.
Untuk ini jenis dan orientasi program yang ditawarkan oleh PUMN harus dilakukan melalui kegiatan analisis kebutuhan latihan yang mengacu kepada kebutuhan pembangunan, baik pembangunan
sektoral maupun regional di tingkat lokal, regional dan pembangunan nasional. Dan yang paling utama perlu kajian yang cermat tentang jenis usaha yang dapat dikembangkan di setiap lokasi, sejak tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi, dengan mempertimbangkan sumberdaya yang tersedia (manusia dan alam) serta prospek pemasaran hasil usaha tersebut. Dengan menyadari bahwa Indonesia adalah negara agraria yang kaya akan sumber daya alam serta mayoritas penduduk termasuk generasi muda tinggal di desa, maka sudah saatnya pemerintah memberikan prioritas terhadap pembangunan industri pedesaan (skala kecil dan menengah) yang berbasis pada hasil produksi pertanian. Dengan demikian jenis dan orientasi PUMN dapat difokuskan pada pendidikan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri pedesaan seperti keterampilan mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi, keterampilan berusaha tani, keterampilan mekanisasi pertanian, keterampilan melakukan usaha mandiri pada sektor informal dan lain-lain. Untuk bidang pekerjaan pada industri-industri besar di kota-kota maka jenis dan orientasi program PUMN harus mengutamakan pendidikan keterampilan yang dibutuhkan oleh industri-industri besar, seperti keterampilan bidang teknologi mekanik, listrik, otomatif, bangunan, tata niaga, dan aneka kejuruan lainnya.
Dengan demikian PUMN perlu berorientasi pada broad based curriculum, yaitu kurikulum yang sifatnya mendasar, berwawasan luas serta fleksibel, terutama untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha/industri yang sangat sarat dengan perubahan dari waktu ke waktu. Subiyanto (2001:39-41) mengemukakan beberapa komponen broad based curriculum itu sebagai berikut : a) Komponen dasar. Komponen ini diharapkan dapat memberikan bekal kepada peserta didik kemampuan dasar yang kuat, luas, dan mendasar (akademik maupun pelatihan); b) Komponen kemampuan lanjutan. Komponen ini disusun atas dasar broad academic base and basic training atau komponen dasar. Komponen ini lebih mengarah pada kekhususan (spesifik) dari komponen dasar. Komponen ini berisi pembelajaran yang tekanannya pada skill development dan related theory. Perbandingan teori dan praktek tergantung pada karakteristik kejuruan yang dipelajari; c) Komponen keahlian. Komponen ini lebih spesifik bila dibandingkan dengan komponen lanjutan. Karena itu komponen ini lebih sangat labil dan berubah-ubah sesuai dengan perubahan lingkungan (misalnya teknologi); d) Artikulasi (internal dan ekternal). Kurikulum harus memiliki artikulasi internal dan eksternal. Ini berarti bahwa pengembangan kurikulum harus dinamis dan sesuai dengan filisofi dan misi. Dengan artikulasi yang baik, maka multy entry dan multy exit system dapat dilakukan sebagaimana mestinya. Proses seleksi terhadap calon peserta didik perlu didasarkan pada minat dan bakat. Demikian juga proses penempatannya harus sesuai dengan jenis keterampilan yang dipelajari. Dan untuk mereka yang akan bekerja mandiri perlu dibekali dengan alat peralatan yang diperlukan. Untuk ini perlu kerjasama dengan institusi lain, seperti perguruan tinggi, pusat-pusat pelatihan pemerintah/swasta, dan kursus-kursus; e) Pendidikan Jiwa Kewirausahaan. Di dalam kurikulum sudah waktunya memasukkan aspek kewirausahawan. Hal ini perlu agar peserta didik dapat dan mampu bekerja mandiri.
3.2. Pendidikan yang berorientasi kepada High Based Education
Tahun 1990, seorang staf pengajar Universitas Sumatera Utara yang baru selesai menyelesaikan pendidikan Doktor dibidang Teknik di Inggris menceritakan rasio perbandingan antara jumlah mahasiswa tugas belajar dari Indonesia, Malaysia dan Singapura di universitas-universitas yang ada di Inggris. Perbandingannya adalah dari Indonesia 1 orang, Malaysia 7 orang dan Singapura 14 orang di satu Universitas. Mahasiswa Indonesia adalah pegawai dari berbagai departemen, sedangkan dari Malaysia dan Singapore disamping pegawai negeri, juga tamatan SMU terbaik yang direkrut pemerintah sesuai dengan bidang ilmu yang dibutuhkan untuk pembangunan dan harus kembali kenegaranya setelah menyelesaikan studi. Hal yang sama mungkin terjadi di Amerika, Australia, Kanada, dan negara-negara lainnya. Memang diakui bahwa banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri atas biaya sendiri, tetapi tidak ada jaminan bahwa mereka harus kembali ke Indonesia setelah selesai studi. Bahkan sebaliknya kebanyakan memilih bekerja di luar negeri.
Apa yang dapat disimak dari keterangan tersebut di atas? Kesimpulannya adalah: 1) dari segi jumlah tenaga qualified, Indonesia ketinggalan dari kedua negara tersebut; 2) orientasi pendidikan pada kedua negara tersebut mengacu kepada mutu dalam arti global, sehingga kedua negara tersebut tidak perlu mendirikan universitas-universitas negeri dan swasta dengan biaya yang sangat mahal; 3) sebaliknya Indonesia kaya dengan perguruan tinggi negeri dan swasta tetapi kualitas lulusannya masih rendah; 4) sarjana ekonomi dari National University of Singapore, Universitas Kebangsaan Malaysia, dan University of The Philippines telah banyak mengisi lowongan pekerjaan yang bergensi
di negara-negara industri maju, sedangkan lulusan dari perguruan tinggi Indonesia tidak memperoleh kesempatan tersebut.
Karena itu, dengan menyadari ketertinggalan kita pada mutu pendidikan ini, maka sudah saatnya pemerintah menunjukkan kemauan politiknya dan menjadikan pendidikan sebagai pilar pembangunan Indonesia. Salah satu konsep pendidikan yang relevan yang perlu dilaksanakan, adalah sistem High Based Education.
Apa itu konsep High Based Education itu? Sebenarnya sistem High Based Education dalam dunia pendidikan tinggi atau lebih tepat disebut universitas bukanlah sesuatu yang baru. Hampir semua universitas di mancanegara termasuk Indonesia telah menentukan syarat-syarat baku untuk mengikuti studi di universitas. Untuk Indonesia, sistem itu dilaksanakan melalui UMPTN. Tujuan pokoknya adalah untuk menjaring calon-calon mahasiswa yang memiliki potensi menjadi insan akademis yaitu memiliki kecerdasan intelektual kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual untuk mengikuti kuliah di universitas. Artinya calon mahasiswa ini dianggap sudah matang memulai studi di universitas. Mengenai pentingnya kematangan intelektual dan emosional untuk mengikuti studi di universitas, J. Drost, SJ ( 2000: 51-55) menyatakan bahwa walau staf dosen semua doktor dan amat pandai memberikan kuliah, perpustakaan lengkap, laboratorium amat canggih, selama mayoritas besar mahasiswa tidak mampu dan tidak siap menempuh studi di universitas, lulusan kebanyakan universitas kita tidak akan memenuhi tuntutan masyarakat abad ke-21. Mereka tidak memiliki potensi belajar untuk menempuh studi di universitas. Keluhan umum ialah bahwa lulusan luar negeri lebih dihargai dan lebih gampang mendapat pekerjaan. Maklum, lulusan Europa dan Australia dan kebanyakan lulusan Amerika telah mendapat gelar setingkat magister, sedangkan lulusan kita baru mendapat gelar setingkat bachelor. Sampai tahuan 70-an universitas-universitas di Indonesia memakai pola dan sistem Eropa ( cq. Nederland). Namun kemudian diubah. Sistem Amerika dicangkokkan kepada pola Eropa. Di Amerika mahasiswa sebelum masuk universitas harus masuk lebih dahulu ke college yang berlangsung selama 3-4 tahun. Dalam college belum ada fakultas dan jurusan. Lulusan college mendapat gelar B.A. atau B.Sc., namun belum profesional, masih bersifat umum. Untuk menjadi profesional mereka harus mencapai gelar magister, kemudian doktor, di universitas atau graduate school. Di Indonesia stratum 1 memakai sistem Amerika yang dikawinkan dengan pola Eropa ialah bahwa sejak masuk universitas sudah harus memilih fakultas. Namun, waktu kuliah hanya empat tahun dan gelar sarjana, bukan sarjana yang masih umum, melainkan sudah terspesialisasi, sesuai dengan pola Nederland. Jadi, ada sarjana ekonomi, sarjana psikologi, sarjana pertanian, dsb. Namun, seharusnya dipakai sistem Amerika gelarnya setingkat B.A. dan belum profesional. Padahal pola Eropa dan sistemnya menuntut kuliah minimal 6 tahun dan gelar M.A., M.Sc., Diploma, Dokterandus, Ir., setingkat Magister. Sarjana kita seperti B.A. ekonomi, B.A. teknik, B.A. bahasa, B.A. pendidikan. Supaya lulusan universitas kita setingkat dengan luar negeri mereka harus mengambil dahulu gelar magister.
Apabila sistem high based education diaktualisasikan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi dan mutu lulusannya, terutama memasuki milenium ketiga yang ditandai sebagai abad informasi, kompetisi yang sangat ketat, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat ini, maka menurut hemat kami, diperlukan suatu perubahan kebijakan yang mendasar terutama untuk mengakomodasi kebutuhan pendidikan masyarakat yang memenuhi syarat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi. Perubahan kebijakan mendasar yang harus mendapat perhatian adalah:
1.Perlu suatu kebijakan nasional tentang syarat-syarat baku yang berhubungan dengan kualifikasi calon mahasiswa dan mahasiswi yang dapat studi di universitas. Acuannya adalah potensi intelektual dan lulus UMPTN. Apabila yang lulus UMPTN hanya 10% dari jumlah peserta, maka itulah yang diterima, dan didistribusikan kepada PTN-PTN yang ada di Indonesia. Menerima mahasiswa yang tidak lulus hanya karena tempat masih tersedia di PTN terutama diluar Jawa, akan merendahkan mutu pendidikan dan mutu lulusan. Dan kebijakan seperti ini akan menimbulkan kesenjangan antara mutu pendidikan di pulau Jawa dan diluar jawa.
2.Sistem pendidikan di SMU harus benar-benar mempersiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan di universitas. Siap dalam konteks kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Ini berarti bahwa seleksi penerimaan siswanya harus benar-benar menjaring tammatan SLTP yang memiliki prestasi akademis yang unggul terutama dalam materi mata pelajaran matematika, fisika, kimia, biologi, dan bahasa inggris. Karena itu sudah waktunya
3.Depdiknas mendorong tumbuhnya SMU dan SLTP unggul. Secara nasional jumlah mereka mencapai 30%. Untuk sekolah-sekolah unggul ini perlu diberikan layanan pendidikan yang baik, termasuk kualitas gurunya beserta sistem kesejahteraannya dan pemberian bea siswa.
4.Dengan tidak mengurangi efektifitas seleksi mahasiswa melalui julur UMPTN, maka untuk mengakselerasi pemenuhan kebutuhan SDM yang berkualitas, maka tamatan SMU unggul dapat secara otomatis diterima menjadi mahasiswa di universitas.
5.Alternatif lain yaitu dengan mengadopsi sistem penerimaan mahasiswa yang dilaksanakan di Singapore. Siswa SMU yang mau melajutkan studi di universitas harus masuk college selama 2 tahun. Selama di college dengan kriteria-kriteria evaluasi yang sudah baku, mereka diseleksi. Yang memenuhi syarat secara langsung diterima di universitas, dan yang tidak memenuhi syarat diarahkan melanjutkan pendidikan di politektik.
Perlu suatu kebijakan nasional untuk mengirim para lulusan SMU yang memiliki prestasi akademis yang excellent untuk studi di universitas bermutu di luar negeri pada berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk pembangunan di Indonesia. Idealnya program ini dapat berlangsung selama 10 tahun dengan rata-rata pengiriman 1.000 orang atau lebih per tahun. Alasannya ialah bahwa lebih baik mencetak SDM yang berkualitas sebanyak-banyaknya, dari pada membangun gedung-gedung pemerintah yang serba besar dan mewah.
6.Untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia diperlukan paradigma baru kerjasama antar pendidikan tinggi, baik dengan tinggi di dalam negeri maupun luar negeri, juga dengan berbagai penelitian terbaik, pemerintah daerah, termasuk dengan dunia usaha yang menjadi penyedia lapangan kerja.
4. Penutup
Berdasarkan uraian-uraian mengenai sistem broad based education dan high based education tersebut diatas maka sebagai penutup kami memberikan rekomendasi pemikiran sebagai berikut :
1.Baik orang tua terutama dunia pendidikan perlu menyadari bahwa, setiap anak memiliki potensi-potensi yang berbeda. Ada anak yang hanya memiliki potensi intelektual yang terbatas disamping ada yang memiliki potensi intelektual yang tinggi.
2.Untuk anak yang potensinya hanya rata-rata perlu dimasukkan pada pendidikan kejuruan yang akan memberikan kemungkinan kepadanya memiliki keterampilan untuk mencari nafkah. Pendidikan ini kami sebut dengan pendidikan untuk mencari nafkah (PUMN). Untuk ini pemerintah perlu lebih banyak mendirikan sekolah-sekolah kejuruan dan lembaga-lembaga pendidikan keterampilan dalam bentuk pendidikan non-formal.
3.Sekolah-sekolah kejuruan ini harus dirangsang lebih progresif dengan memasukkan sistem magang yang intensif dalam dunia usaha baik didalam negeri maupun diluar negeri.
4.Perlu proses sosialisasi kepada masyarakat agar timbul suatu kesadaran bahwa untuk menjadi orang yang berhasil bukan harus tamatan pendidikan tinggi.
5.Bagi anak-anak yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi perlu dirangsang dan difasilitasi untuk meneruskan pendidikan di universitas baik di dalam negeri maupun luar negeri. Untuk ini bagi anak yang berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah diberikan bea siswa.

Rabu, 04 Agustus 2010