Daftar Blog Saya

Jumat, 21 Januari 2011

Lampu merah

Dari kejauhan, lampu lalu lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.
Prit!!!!!!!.... Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing. Hey, itu kan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, Jack.” Jawab Bob tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?” Tampaknya Bob agak ragu.
Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi. “Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
“Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu.”
Dengan ketus Jack menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima senti sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.
Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIM-nya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.
“Halo Jack, tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah, Bob.”
Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.
Renungan:
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.


http://bangjonline.blogspot.com/2011/01/lampu-merah-bangjo-dan-kesedihan.html

Jumat, 14 Januari 2011

Trafficking

T r a f f i c k i n g
Sabtu, 15 Januari 2011 | 14:04 WIB


Cerpen Sakinah Annisa Mariz
Darah kental kehitam-hitaman muncrat dari bibir mungilnya yang kering dan pucat. Anak perempuan kecil yang dipukuli itu hanya bisa bernafas lemah, tanpa berusaha membuka matanya.

Di kamar yang gelap dan sempit, seorang anak perempuan menangis di sudut ranjang. Tubuh rapuhnya dibalut selimut yang tebal. Seorang lelaki berbadan tegap dan tinggi masuk ke dalam kamar, menyingkapkan selimut yang membalut tubuh perempuan itu sehingga tubuhnya yang kecil terpelanting di atas ranjang.

“Hei anak sialan! Kenapa kau tak mau melayani tamu-tamuku! Dasar tak tahu diri! Kau pikir bisa gratis hidup di sini ya! Sial! Sial! Sial!” Lelaki itu terus-terusan memukuli tubuh perempuan kecil itu dengan jari-jari dan kepalan tangannya yang kokoh.

Darah kental kehitam-hitaman muncrat dari bibir mungilnya yang kering dan pucat. Anak perempuan kecil yang dipukuli itu hanya bisa bernafas lemah, tanpa berusaha membuka matanya. Sedari pagi, sudah 19 orang tamu yang dilayaninya dengan tersiksa. Hingga malam ini, tak sebutir nasi pun masuk ke mulutnya. Sejak terbangun dari tidurnya yang sebentar-sebentar terjaga, dia hanya diberikan segelas air dingin dan sebutir pil kecil, pil anti hamil. Hari ini sudah tiga kali dia pingsan ketika sedang melayani tamu-tamunya. Namun, bukan iba yang terpancar di mata lelaki-lelaki berwajah setan itu, malah perlakuan yang semakin bringas dan bernafsu yang didapatinya.

Sejenak terdengar suara rintihan yang menyayat dari kamar itu, serupa rintihan seorang tahanan yang menanti detik-detik eksekusinya. Anak kecil itu, seperti sudah kehilangan seperempat jiwanya! Salah! Bukan seperempat, malah seluruhnya! Dia sudah tak bernyawa lagi sejak lelaki besar dan hitam itu menghantamkan tinjunya tepat ke ulu hatinya.

Tanpa rasa bersalah, kemudian lelaki itu membopong tubuhnya yang ringkih menuju halaman balakang. Halaman terlarang yang hanya bisa bisa ditemukan setelah melalui lorong-lorong sempit dan lembab. Pada ujung lorong, terdapat sebuah ruangan kecil beratap terbuka yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang kepercayaan Tuan Besar Fredo. Tidak ada yang menarik dari ruangan gelap itu kecuali kloset kotor yang berada persis di tengah-tengah ruangan dan beberapa lampu pijar yang sudah putus bola lampunya.

Pintu ruang kecil itu dibukanya dan dibantingkannya keras hingga dinding-dindingnya yang kehijau-hijauan bergetar. Dia menekan sakelar lampu dengan tangan kiri, sedangkan tangan lainnya mendekap sebuah gulungan besar yang tersampir di bahu kanannya.

Dia sedikit membungkuk ketika berusaha menyurukkan gulungan manusia itu kedalam sebuah lubang raksasa yang berada persis di sudut timur ruangan. Lubang raksasa dengan kedalaman 8 meter yang sarat oleh mayat-mayat perempuan yang dulunya bekerja di rumah terkutuk itu. Ketika dia menggeser penutup lubang, yaitu berupa lempengan besi padu dengan garis tengah lingkarannya sekitar 2 meter, tiba-tiba selulernya berdering. Nama Tuan Besar Fredo muncul berkedip-kedip di layar selulernya, cahayanya menerangi kulit wajahnya yang hitam dan mulai dibubuhi bintik-bintik keringat. Dengan gugup disahutnya telepon Tuan Besar Fredo dan diletakkannya gulungan itu tepat di bawah kakinya.

*** Dari atap ruangan yang terbuka, angin berhembus begitu kencangnya. Mungkin malam ini akan turun hujan deras, seperti malam-malam sebelumnya. Biasanya jika malam hujan, pelanggan yang mendatangi rumah terkutuk itu akan bertambah banyak. Tak jarang Boris mendapat keuntungan yang berlipat ganda dari hasil pelayanan gadis-gadis yang memuaskan pelanggan. Walaupun setiap harinya ada saja gadis yang harus dilenyapkan karena penyakit kelamin akut atau meninggal secara tiba-tiba, itu tidak jadi masalah. Ada banyak stok daur-ulang yang selalu diganti tiap minggunya dengan tingkat usia yang berbeda-beda. Stok itu sebenarnya bukan “barang baru” lagi, namun perempuan-perempuan yang berasal dari rumah terkutuk lain yang disubtitusikan ke rumah terkutuk lain yang berbeda wilayahnya. Misalnya saja dari wilayah X, ditukar ke wilayah Y, begitu seterusnya.

Boris yang bertanggung jawab untuk memetakan wilayah daur-ulang itu agar tidak terjadi persinggahan rumah yang sama dalam dua kali. “Barang baru” diselipkan dalam rute perjalanan sebagai “pengganti” dari yang sudah lenyap ataupun dilenyapkan sehingga bisnis Boris tidak pernah mengalami pasang-surut. Selayaknya hukum demand dan suply dalam teori ekonomi, keberadaan suply (penyediaan) “barang-barang” itu akan terus eksis selama masih ada demand (permintaan) dari konsumennya. Boris paham sekali akan teori ekonomi itu dan selalu berupaya untuk melaksanakan tugasnya dengan cermat dan hati-hati. Sedikit saja gerak-geriknya tercium oleh pihak berwajib, maka hancur binasalah karir dan seluruh jaringannya.

Angin dingin berhembus lagi, mengelus-elus pipi dan tengkuknya yang pias. Kali ini deru angin semakin kencang sementara percakapannya dengan Tuan Besar Fredo di telepon semakin memanas. Tanpa sengaja, angin meniup gulungan selimut diletakkannya di lantai itu dengan kerasnya hingga menyibakkannya. Sebagian atas gulungan itu mulai merekah. Sebuah kepala anak perempuan berumur 13 tahun menyeruak dari dalamnya. Lampu neon berdaya 15 watt itu cukup membantu untuk mengenali wajah kecilnya.

Wajah itu membeku tengadah ke langit hitam pekat. Angin dingin semakin terasa dingin menusuk tulang-tulang dan persendian, terlebih darah yang mengental kehitam-hitaman di sepanjang bibir mungil itu! Aih! Wajah itu terlihat begitu tegang dan kaku, seolah ingin menunjukkan dendam yang selama ini menggumpal di dada, bibir dan kemaluannya.

Sekejap, anyir darah mulai merebak di ruangan. Angin menolong wajah kecil kaku senandungkan lagu kematian. Bola matanya masih bening terbuka, menceritakan kesakitan dan kepedihan yang mendera-dera jiwa dan raganya selama dua bulan ini. Dari hidungnya yang bangir, menyembul noda biru kehitam-hitaman yang tak sempat tertangkap cahaya remang-remang di kamar pengap itu. Pada wajahnya yang tirus, melekat garis-garis kelabu meninggalkan jejak, serupa coretan yang mewarnai pipi putih mulusnya. Jejak-jejak yang bersumber dari lidah-lidah kotor lelaki berperangai iblis.

Malam ini, semua terasa lain. Aroma kretek yang sengaja disulut Boris saat Tuan Besar Fredo memulai pembicaraan tak dapat menghangatkan dadanya dari degup angin dan tatapan dingin anak perempuan yang terbungkus selimut itu. Tiba-tiba saja rasa gugup menggerilya jantungnya, menyulitkan bibirnya menghisap kretek itu lebih dalam. Dia hanya mencicipi sedikit asap dari filternya lalu buru-buru menghembuskannya keluar.

Tatapan mata anak kecil itu lagi-lagi menyurutkan semangatnya untuk berbicara dengan Tuan Besar Fredo. Wajah anak perempuan yang pasi dengan ekspressinya dinginnya, seolah-olah mencekik semua nafas Boris yang tersisa. Boris terengah-engah dalam kepulan kreteknya sendiri. Dia hanya mengatakan “ya” pada setiap pertanyaan yang di lontarkan Tuan Besar Fredo tanpa sedikitpun memikirkannya. Matanya tak bisa lepas dari wajah mungil yang membujur dibalik selimut itu. Anyir darah merebak lagi, membaur dengan desau angin yang kadang-kadang berbunyi seperti tangisan anak kecil yang menyedihkan.

Jalanan memerah, langkah menyerah Nafas dan nyawa mengepul seperti asap rokok lelaki dewasa Hari-hari memekat di ruangan pengap, terali kematian Simpang jalan merah tempatku berteduh Dari malam yang selalu berujung pada kesakitan panjang

Boris tersentak dari lamunannya, sekilas dia melihat wajah itu seperti berpuisi padanya. Boris, lelaki bertubuh tegap dan berpostur tinggi dengan kulit hitam berkilat menghirup kreteknya dengan jantung yang berdegup tak karuan. Sekali lagi terdengar makian Tuan Besar Fredo membentak. “Bagaimana? Sudah kau cari ke tiap rumah-rumah bordil berengsek itu!!! Bodoh! Bodoh! Kenapa kalian bisa kecolongan!” Tuan Besar Fredo memaki Boris, tak sabar dengan jawabannya yang lamban. “Sudah Tuan, tapi memang aku kesulitan menemukan jejaknya, mungkin sudah dibawa ke negeri M.”

Boris menjawab sekenanya, meski pandangan matanya tak luput dari tubuh halus anak perempuan yang mencuat dari rekahan selimut tebal itu. Tubuh yang tegang dan kaku. Lekuk tubuhnya ringkih, dibalut luka dan lebam yang tak akan hilang meski tulang-tulangnya memutih. Tahi lalat kecil membulat jelas di bawah kantung mata kiri dan satu lagi berada tepat di atas pusarnya.

“BODOH!!! Kenapa kau tak bisa mencarinya! Aku sudah menyuruhmu dua bulan lalu! Aku juga sudah mengirimkan fotonya! Memberi wewenang seluas-luasnya untuk mencari anak perempuanku!

BODOH KAU BORIS! Aku tak mau tahu, pokoknya kau harus temukan Dhisty! Sekalipun mayatnya, aku bersedia membayarnya! Persetan dengan harga! Beritahu aku segera, siapa orang yang bertugas menculiknya dan kepala mucikari mana yang menahannya, SECEPATNYA BODOH!” “Baik Tuan, besok saya kabari” Tuuut...tuuut... Boris menekan tombol merah di handphonenya.

Amarah Tuan Besar Fredo dan tatapan dingin wajah dibalik selimut itu membuat nyalinya semakin ciut dan kerdil. Berkali-kali dia menghisap kreteknya dengan gugup. Selembar foto yang tak pernah disentuhnya sejak mandat dari Tuan Besar Fredo dikeluarkan 2 bulan lalu, akhirnya tersembul juga dari balik amplop cokelatnya yang lembab. Foto anak perempuan kecil, berusia 13 tahun yang memiliki tahi lalat di bawah kantung mata sebelah kirinya.

Medan, KSI 2010

Nama saya Sakinah Annisa Mariz. Merupakan Mahasiswi Universitas Negeri Medan (UNIMED), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, yang saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Medan.

Adapun karya-karyanya berupa Antalogi Cerpen Bersama Artefak, Cerita Pendek Indonesia.2009, Antalogi Cerpen Bersama, Cermin dan Kumpulan Puisi bersama Suara Peri dan Mimpi,2010. Essay, cerpen, dan puisinya dimuat di Harian Analisa, Waspada, Medan Bisnis, Harian Global, dan Majalah YoungsMagazine.